Rabu, 10 Mei 2006

KEBANGKITAN PEMUDA ISLAM SUATU KEMAJUAN HARUS DIBIMBING BUKAN DILAWAN (1/6)





CIRI khusus kebangkitan Islam kontemporer adalah tidak sekadar bermodalkan semangat, ungkapan verbal, dan slogan, melainkan kebangkitan yang benar-benar didasarkan pada komitmen terhadap Islam dan adab-adabnya, bahkan sunnah-sunnahnya. Pujian perlu diberikan kepada para pemuda mukmin karena mereka telah menghidupkan kembali sunnah-sunnah dan adab-adab Islam di kalangan lapisan terpelajar dan orang-orang yang hanya sedikit mempunyai perhatian terhadap agama. Maka setelah sekian lama berada dalam kevakuman, muncullah di tengah masyarakat, orang-orang yang ditengarai oleh Allah SWT,

"Mereka adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadah, yang memuji (Allah), yang melawat, yang ruku, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat mungkar, dan yang memelihara hukum-hukum Allah... " (at-Taubah: 112).

Untuk mewujudkan misi suci ini, menjamurlah berbagai kelompok halaqah dan harakah di universitas-universitas. Dengan bersemangat mereka membangun masjid-masjid dan mengumandangkan azan. Bangkitlah jamaah pria maupun wanita untuk menyambut panggilan Islam. Meluaslah pemakaian jilbab, bahkan cadar, di kalangan akhwat (wanita muslim). Buku-buku dan berbagai literatur keislaman dipublikasikan secara luas. Generasi rabbani yang berkomitmen terhadap Islam tampil dengan ghirah membara. Gerakan inilah yang secara nyata merupakan fenomena paling besar dan strategis di Arab dan dunia Islam dewasa ini.

Faktor-faktor Kebangkitan yang Diingkari

Meskipun tidak diragukan bahwa kebangkitan Islam di kalangan para pemuda mempunyai kelebihan dan keseriusan, namun ada beberapa catatan (kritik membangun) yang perlu dikemukakan terhadap beberapa hal yang menjadi ciri gerakan ini, yaitu:

  1. Kedangkalan studi Islam dan syariatnya.
  2. Tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain.
  3. Sibuk mempersoalkan masalah-masalah kecil dan melupakan masalah-masalah besar.
  4. Berdebat dengan pendekatan yang kasar.
  5. Cenderung memberatkan diri dan mempersulit persoalan.

1. Kedangkalan Studi Islam dan Syariatnya

Mayoritas pemuda yang bergabung dalam kelompok-kelompok ini mempelajari Islam secara otodidak. Mereka berguru pada buku-buku tanpa pembimbing yang dapat mengarahkannya, menafsirkan masalah-masalah dan istilah-istilah kunci yang masih samar-samar, mengembalikan masalah-masalah cabang kepada akarnya, dan mengikat bagian-bagian ke induknya.

Padahal studi Islam tidak dapat dilakukan dengan jalan pintas, sebab tidak terlepas dari hal-hal yang rumit dan beresiko. Hal-hal ini tidak dapat diselesaikan kecuali melalui berbagai latihan dan ketekunan. Apalagi bagi mereka yang masih berada pada tahap awal dan berhadapan dengan bermacam-macam pemikiran serta menemui berbagai ketidakjelasan dalam studi.

Orang yang mencari ilmu dengan cara di atas, oleh para ulama salaf disebut kelompok shahafi (kutu teks). Mereka menganjurkan kepada kelompok ini agar mencari ilmu dari para ahlinya dan orang-orang yang berpengalaman dan matang dalam suatu disiplin keilmuan. Allah SWT berfirman,

"...dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu sebagai yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui." (Fathir: 14)

Pada dasarnya, para pemuda ini tidak dapat menerima apa yang selama ini dilakukan oleh para ulama. Kelompok pemuda ini muncul pertama kali secara spesifik di Mesir ketika banyak ulama yang berkredibilitas tinggi di hati umat sedang dipenjara, melarikan diri, atau hidup di pengasingan. Para ikhwan muda tersebut sudah tidak percaya lagi terhadap mayoritas ulama formal. Mungkin saja hal ini disebabkan karena hubungan ulama dan penguasa terlalu dekat atau karena keberanian mereka berbicara tentang Islam tanpa dasar yang kokoh.

Sehingga mereka menganggap bahwa para ulama salaf yang telah tiada itu lebih dapat dipercaya daripada mayoritas ulama pada zamannya. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Mas'ud ra.,

"Barangsiapa yang mengikuti jejak, maka kendaklah mengikuti jejak orang-orang yang telah tiada, karena orang yang masih hidup itu engkau tidak dapat mempercayainya."

2. Tidak Mengakui Kebenaran Pendapat Orang Lain

Kelemahan lain yang ada pada mereka adalah keterpakuan pada satu sudut pandang masalah dan tidak mengakui kebenaran pendapat orang lain dalam masalah ijtihadi yang bersifat zhanni (mempunyai lebih dari satu penafsiran --peny.). Sehingga dari masalah tertentu akan muncul berbagai pemahaman, ijtihad, dan penafsiran. Penafsiran-penafsiran tersebut ada yang cenderung tekstual d an ada yang kontekstual, ada yang berpatokan pada zahir nash dan ada pula yang menangkap ruhnya (maksudnya nash --peny.). Wajar jika dalam perjalanannya, fikih berkembang pesat dan terbagi menjadi tiga aliran, yaitu: ra'yu (rasionalis), atsar (ahlu-hadist), dan zahiriyah (tekstual). Penulis mengamati bahwa aliran-aliran ini hidup saling berdampingan, bertoleransi, dan bekerjasama. Hal ini dapat tercipta karena adanya pengertian dari para pengikutnya bahwa setiap mujtahid mempunyai sudut pandang tersendiri. Masing-masing mujtahid memperoleh dua pahala jika ijtihadnya benar dan satu pahala jika salah. Bila terjadi perbedaan pendapat di antara mereka terhadap suatu masalah, maka hal itu diekspresikan dalam bentuk dialog konstruktif, tidak sampai keluar dari etika ilmiah dalam bentuk mencela atau melukai perasaan mitra dialog.

Ada pakar ushul fiqih yang merasa tak cukup hanya mengatakan bahwa para mujtahid akan memperoleh pahala melainkan menambahkannya dengan pernyataan, "Bahkan setiap mujtahid adalah benar."

Kecenderungan mempersempit diri amat wajar terjadi pada kelompok-kelompok pemuda Islam ini. Mereka belum mengetahui berbagai pandangan lain yang terdapat dalam lapangan pemikiran Islam. Mungkin juga mereka telah memahami sebagian khazanah pemikiran yang ada, namun mereka belum mampu membuat studi komparasi karena maraji (kitab-kitab rujukan) atau para syekh yang mereka ikuti menampilkan satu pandangan (aliran) pemikiran saja. Apalagi diperparah dengan kebiasaan mereka yang menganggap pendapat lain itu salah dan sesat. Tentu saja sikap tersebut bertolak belakang dengan sikap para ulama salaf yang menyatakan, "Pendapatku mungkin benar, namun juga mengandung kesalahan, dan pendapat lain mungkin salah, namun juga mengandung kebenaran." Demikianlah ungkapan maksimal seorang mujtahid tentang pendapat yang dikeluarkan, meskipun ada ulama lain yang berpendapat tentang hal tersebut secara keras, karena hasil ijtihad dapat dinilai sahih jika dikemukakan oleh seorang ahli secara memadai.

Pada umumnya, argumen yang diajukan kelompok-kelompok pemuda Islam adalah bahwa pernyataan-pernyataan mereka selalu didasarkan pada nash, dan jika ditemukan nash terhadap suatu masalah, maka ijtihad menjadi batal. Pandangan itu tidak benar, sebab ijtihad mempunyai lapangannya sendiri, yaitu harus ada nash untuk ditafsirkan, diambil kesimpulan hukumnya, dan dianalisis perbandingannya dengan nash-nash yang lain. Banyak nash yang zahirnya membutuhkan takwil, nash-nash 'am (umum) yang mengandung takhshish (pengkhususan), nash-nash mutlaq yang mengandung taqyid (penjelas-pengikat), serta nash-nash yang kelihatan kontradiktif dengan nash-nash lain dan kaidah-kaidah hukum.

Semua ini dikehendaki oleh Allah SWT. Bila tidak, tentu Allah menjadikan seluruh nash dalam bentuk muhkamat, tidak mengandung perbedaan interpretasi dan peluang keragaman. Akan tetapi, Allah sengaja menjadikan sebagian nash muhkamat (jelas dan tegas) dan sebagian lagi mutasyabihat (samar-samar) atau qath'iyat (pasti) dan zhanniyat (interpretatif). Pada dasarnya, pendekatan ini memberikan peluang kepada para mujtahid untuk berpikir dan keleluasaan terhadap para mukallaf (orang yang telah dibebani kewajiban melaksanakan hukum).

Penulis ingin memberikan ilustrasi mengenai perbedaan pendapat di kalangan sahabat dan bagaimana Rasulullah saw. menyikapinya, yakni pada kasus shalat Asar yang dilakukan di Bani Quraizah. Sebagian mereka melakukan shalat di tengah perjalanan karena mempraktekkan maksud dari nash, sedangkan sebagian yang lain melakukannya setelah tiba di Bani Quraizah padahal waktu shalat telah habis. Kelompok kedua cenderung memahami nash secara harfiah (tekstual). Rasulullah saw. tidak berlaku keras terhadap kedua kelompok itu (dapat menerima perbedaan pandangan tersebut-peny.).

3. Sibuk dengan Masalah-masalah Sampingan dan Mengabaikan yang Pokok

Para pemuda aktivis terlampau menyibukkan diri pada masalah-masalah yang tidak prinsipil dan tidak memberikan perhatian yang memadai pada masalah-masalah besar yang berhubungan dengan eksistensi dan masa depan umat. Mereka mempersoalkan kembali masalah-masalah usang yang telah lama diperdebatkan. Misalnya: memelihara janggut, memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki, menggerak-gerakkan telunjuk dalam tasyahud, dan fotografi.

Padahal kita sedang menghadapi sekularisme yang meracuni umat, Marxisme, Zionisme, kristenisasi, dan berbagai gerakan baru yang menghunjam tubuh umat serta menembus seluruh kawasan Islam yang luas di Asia dan Afrika. Itulah bentuk serangan baru musuh-musuh Islam yang bertujuan menghapuskan kepribadian kaum muslimin dan mencabutnya dari jati diri Islam. Pada saat yang sama, umat Islam disembelih dan para penganjur agama ini diintimidasi agar meninggalkan kewajiban sucinya.

Anehnya, dalam kondisi demikian, penulis menyaksikan kaum muslimin yang bermigrasi ke Amerika, Kanada, dan Eropa untuk melanjutkan studi atau bekerja, membawa masalah masalah kecil yang telah penulis sebutkan.

Penulis sering melihat dan mendengar dampak perdebatan keras dan perpecahan di antara kelompok-kelompok umat Islam yang disebabkan oleh masalah-masalah kecil yang bersifat ijtihadiyah. Dampak negatif tersebut adalah kian menajam dan suburnya aliran-aliran dan pemikiran-pemikiran yang beraneka ragam sehingga tidak mungkin mempersatukan umat di atasnya.

Sebenarnya yang harus menjadi prioritas mereka adalah bersungguh-sungguh memelihara kemurnian akidah umat Islam, mendorong pelaksanaan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan syariat, dan menjauhkan umat dari dosa-dosa besar. Ini karena bila umat Islam berhasil memelihara akidah, melaksanakan kewajiban-kewajiban, dan menjauhi dosa-dosa besar, maka mereka dapat mewujudkan obsesi dan usaha-usaha yang agung.

Akan tetapi, sangat disayangkan, mereka malah menyukai perdebatan masalah-masalah yang tidak prinsipil dan mengabaikan kewajiban-kewajiban pokok, seperti berbuat baik terhadap orang tua, mencari nafkah yang halal, melaksanakan pekerjaan secara profesional, serta memelihara hak istri, anak, dan tetangga. Mereka tenggelam dalam perdebatan yang berkelanjutan hingga menjadi suatu kegemaran. Maka terjadilah permusuhan dan perselisihan di antara mereka.

Perdebatan semacam ini diisyaratkan oleh Rasulullah saw.,

"Suatu kaum tidak tersesat setelah memperoleh petunjuk di mana mereka berada padanya, kecuali (jika) mereka melakukan perdebatan." (al-Hadist)

Hadist ini mengingatkan pada informasi yang penulis terima dari beberapa sahabat di Amerika mengenai seorang muslim yang amat keras menolak memakan daging sembelihan Ahli Kitab padahal sejumlah ulama dulu maupun sekarang menghalalkannya. Di lain sisi, ia tidak ambil pusing meminum minuman keras. Ia menyulitkan dirinya terhadap masalah ikhtilaf (yang dipertentangkan), tetapi ia melanggar hal yang jelas diharamkan.

Contoh lain adalah yang disampaikan oleh seorang sahabat besar bernama Abdullah bin Umar tentang seorang penduduk Irak yang amat berani mengerjakan dosa-dosa besar tetapi merasa tidak tenang dengan hal-hal yang remeh. Orang itu menanyakan kepada Ibnu Umar mengenai hukumnya terkena darah nyamuk. Anehnya, pertanyaan itu dilontarkan setelah peristiwa terbunuhnya Husein bin Ali ra.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan sanad dari Ibnu Abi Na'im, "Seorang pria datang kepada Ibnu Umar dan kami sedang duduk, lalu beliau ditanya tentang hukumnya darah nyamuk." Menurut versi lain, orang itu bertanya tentang haramnya membunuh lalat. Lalu Ibnu Umar bertanya, "Dari siapa engkau mendengar pertanyaan ini?." Orang itu menjawab, "Dari penduduk Irak". "Begini," kata Ibnu Umar, "lihatlah kemari, ganjil rasanya, masalah darah nyamuk dipersoalkan, padahal mereka telah membunuh putera Rasulullah saw. (maksudnya Husein bin Ali ra., cucu Rasulullah saw. dari pernikahan Ali bin Abi Thalib ra. dan Fatimah az-Zahra ra.). Engkau telah mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Keduanya adalah bunga hatiku di dunia."

4. Berdialog (berdebat) dengan Cara yang Kasar

Kelemahan lain yang tak disukai dari kelompok-kelompok pemuda ini adalah cara mereka berdialog dengan orang atau kelompok lain yang berbeda pendapat. Ciri umum metode dakwah mereka dalam hal yang diyakini kebenarannya dan cita-cita yang tel ah digariskan, adalah dengan cara yang kasar dan keras.

Mereka menghadapi orang lain secara emosional dan tegang dan menolak cara dialog yang lebih baik terhadap orang yang menentang pendapatnya. Mereka tidak membedakan kawan bicara dari kalangan muda atau orang tua, tidak melihat apakah yang diajak berkomunikasi itu orang yang mempunyai kedudukan khusus seperti ayah-bunda atau orang lain, tidak membedakan antara orang yang banyak makan asam garam dunia dakwah dan jihad dengan mereka yang belum berpengalaman, dan tidak melihat tingkat pemahaman keislaman orang yang berdialog dengan mereka.

Cara kasar dan keras ini merupakan konsekuensi logis dari sikap tidak mau mengakui pendapat orang lain, kepicikan, dan su'uzhan (persangkaan negati). Padahal tujuan asal yang harus diingat adalah menciptakan kondisi keberislaman yang damai dan baik. Kelemahan ini juga merupakan akibat dari kondisi psikologis, sosial, politik, dan budaya yang menuntut respon berupa kebangkitan Islam (shahwah Islamiyah).

5. Cenderung Mempersulit Persoalan

Ciri lainnya adalah cenderung memperberat dan mempersulit persoalan, bersikukuh dalam pendirian dan sikap keberagamaan, berwawasan agama sempit, tidak meyukai keringanan (rukshah), menolak fatwa-fatwa ulama fikih yang memberikan keleluasaan praktek hukum, dan bahkan dalam batas-batas tertentu bersikap ekstrem dalam pemikiran dan perilakunya. Mereka lupa bahwa dasar penerapan hukum Islam adalah prinsip memudahkan dan menyenangkan.

Tidak puas dengan sikap kaku untuk diri sendiri, mereka bahkan menginginkan orang lain dan seluruh dunia sekalipun untuk mengikuti sikap ini.

Sikap keberagamaan ini muncul sebagai respon terhadap realitas umum yang cenderung menjauh dari agama, kediktatoran, kedurhakaan, modernisasi sekular, gaya hidup serba boleh (permissive), serta Komunisme dan Kapitalisme. Dapat dipahami jika realitas tersebut memicu lahirnya sikap keberagamaan yang radikal dan ekstrem.

Kebangkitan Harus Diarahkan, Bukan Dilawan

Bila demikian kondisi yang melingkupi gerakan pemuda Islam --yang meskipun begitu masih menampakkan sikap-sikap keberagamaan yang positif-- maka seyogianya para ulama dan pemikir mengarahkan gerakan kebangkitan ini dan meluruskan langkah-langkahnya, bukan malah menentangnya.

Arahan tersebut telah penulis upayakan sejak beberapa tahun ini dalam berbagai forum dan perkuliahan bersama mereka. Hal ini pulalah yang mendorong penulis untuk mengajukan sebuah artikel berjudul Fenomena Anarkis dalam Pengkafiran, fatwa penulis mengenai Seputar Shalat dalam Masjid-masjid Umat Islam, dan materi perkuliahan bertajuk Sikap Berlebihan dalam Realitas Umat Islam.

Penulis ingin menekankan dua hal kepada siapa pun yang mempunyai perhatian terhadap masalah pemuda, Islam, dan kebangkitannya.

Pertama, fenomena ini masih berada dalam kewajaran dan sehat. Indikatornya sangat jelas, yaitu adanya keinginan yang kuat untuk kembali kepada fitrah dan asal. Asal-muasal kita adalah Islam serta awal dan akhir kita tetap Islam. Fakta menunjukkan bahwa dalam kondisi apa pun dan dalam bentuk ujian bagaimanapun, mereka tetap konsisten dan berkomitmen kepada Islam.

Masyarakat kita telah berulang kali bereksperimen memecahkan problema yang dihadapinya dengan konsep-konsep Barat dan Timur, namun eksperimen itu tidak mampu merealisasikan cita-cita bangsa dalam mendidik individu dan memajukan masyarakat, tidak pula melahirkan manfaat bagi kehidupan beragama dan kemakmuran dunia, bahkan justeru menimbulkan berbagai bencana perpecahan yang bekas-bekasnya masih dapat kita saksikan sekarang.

Tidak diragukan lagi bahwa opini umum di seluruh kawasan masyarakat muslim mengarah kepada penyelesaian masalah besar ini sepenuhnya dengan Islam, yaitu dengan mengimplementasikan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Generasi muda telah mengambil peran dalam perjuangan tersebut dengan kekuatan dan kegigihan, maka mereka tidak mengenal lagi lembutnya politik dan politik moderat.

Kedua, pendekatan yang keras tidak boleh dihadapi dengan sikap keras pula. Ini karena sikap keras akan membuat mereka semakin keras dan permusuhan terhadap kelompok ini akan membuat mereka semakin menjauh. Jangan pula dipecahkan dengan cara yang dangkal dan sikap apriori, sebab tidak seorang pun mampu menggoyahkan keikhlasan hati mereka, ketulusan mereka terhadap Allah SWT, dan kejujuran mereka pada diri sendiri.

Solusi yang paling tepat adalah mengadakan pendekatan kepada mereka, memahami posisi dan pemikiran mereka sebaik-baiknya, bersangka baik (husnuzhzhan) terhadap niat dan tujuan mereka, berusaha menghilangkan jurang pemisah antara mereka dan masyarakat sekitarnya, menggalakkan dialog ilmiah bersama, mencegah perselisihan, dan mengadakan kesepakatan-kesepakatan dalam hal-hal yang diperselisihkan.